MANADO, sulutberita.com - Menarik dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) dalam pelaksanaan pesta demokrasi Pemilihan Umum dan Kepala Daerah (Pemilukada) sebelumnya, masyarakat Sulut terbilang merupakan pemilih yang cerdas dari segi literasi/pendidikan (pengetahuan) tinggi.
Dengan adanya tingkat pengalaman tersebut, membuktikan bahwa masyarakat Sulut tidak mengadopsi pemikiran Primodialisme (pandangan terhadap ras, agama, suku, hingga jenis kelamin) namun, yang laku dalam kehidupan masyarakat Sulut adalah Rasionalisme (hal pemikiran yang masuk akal), dan itu pun terbukti seperti contohnya dalam memilih kepala daerah di Kota Manado walaupun berdarah Tionghoa, tanpa pandang bulu.
Dalam pandangan Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut, Ferry Daud Liando, karakter pemilih rasional adalah pemilih yang memiliki keyakinan bahwa jika calonnya terpilih maka kepentingan pemilih akan diakomodasi jika calon yang dipilihnya itu berkuasa. Jadi, motif seseorang memilih bukan karena imbalan uang atau bukan karena kesamaan keyakinan tetapi oleh karena suatu kepentingan yang sama antara pemilih dengan calon
Pertama, memilih sesuai imbalan. Memilih sesuai kesamaan keyakinan dan memilih karena kepentingan tertentu.
"Pemilih kritis atau pemilih rasional adalah pemilih yang dipengaruhi oleh tawaran visi dan misi. Mana visi yang paling rasional, paling implementatif dan masuk akal untuk memenuhi kebutuhan dari seorang pemilih atau kelompok tertentu maka calon yang empunya visi itu pasti akan dipilih,” terangnya kepada wartawan, Senin 12 Februari 2024.
“Jadi dasar bagi seseorang dalam memilih adalah keyakinannya bahwa jika calon yang dipilihnya akan terpilih maka kebutuhan individu atau kelompok yang memilihnya akan terpenuhi,” sambung Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat itu.
Walau demikian, lanjut Liando, populasi dari jenis pemilih ini sangat sedikit di Indonesia. Sebagian besar hanya oleh kalangan intelektual atau aktivis.
Perilaku pemilih di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pemilih-pemilih pragmatis, sosiologis, apatis dan psikologis.
“Pemilih pragmatis akan ditentukan oleh imbalan yang ia terima. Tanpa imbalan maka ia tidak akan memilih,” ujarnya dengan menambahkan bahwa pemilih sosiologis tidak melihat kapasitas calon tapi melihat pada kesamaan agama, kesamaan etnik atau kesamaan daerah. Sebab dasar bagi seseorang dalam memilih adalah karena hubungan sosiologis itu.
Lagi pula, pemilih apatis adalah pemilih yang trauma dengan kondisi politik di masa lampau. Ia tidak pernah yakin bahwa siapapun calon yang akan terpilih akan mampu mengubah nasibnya atau nasib bangsanya, sehingga dari sifat apatismenya itu menyebabkan ia tidak akan memilih siapapun.
“Pemilih psikologis adalah pemilih yang cenderung melihat pada kondisi fisik calon. Kapasitas bukan soal, yang penting ganteng dan berwibawa. Jenis pemilih ini besar didominasi oleh pemilih ibu-ibu dan gadis-gadis muda,” ujar Liando. (Mild)
Post A Comment:
0 comments: