SOLO, sulutberita.com - Presenter TV Pasifik dan kini Stafsus Komunikasi Publik Gubernur Sulut DR (HC) Olly Dondokambey, SE, yakni Pdm.Victor Rarung SE., STh., MTh, pada Sabtu, 6 Juli 2024 nanti, bertempat di Bangsal Keraton Solo Jawa Tengah (Jateng), akan disemat Gelar Bangsawan Kanjeng Raden Aryo (KRA) Hadiningrat dari Raja Pakoe Buwono XIII Pb XIII Keraton Hadiningrat Solo.
Menurut Drs. KGPH Adipati Dipokusumo,MSi., sebagai Pengageng Parentah Karaton Surakarta Hadiningrat, seyogyanya pemberian gelar budaya dari Karaton Surakarta kepada tokoh lintas agama didasari oleh beberapa alasan utama sebagai berikut:
1. **Pengakuan atas kontribusi**: Tokoh lintas agama yang menerima gelar tersebut biasanya telah memberikan kontribusi signifikan dalam mempromosikan kerukunan antar umat beragama, perdamaian, dan toleransi di masyarakat. Gelar ini merupakan bentuk penghargaan atas usaha mereka dalam menciptakan harmoni sosial.
2. **Penguatan nilai-nilai kebudayaan**: Karaton Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki peran penting dalam melestarikan dan menyebarkan nilai-nilai budaya, termasuk nilai-nilai toleransi dan kerukunan. Dengan memberikan gelar kepada tokoh lintas agama, karaton berusaha menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai ini dalam kehidupan masyarakat.
3. **Pendorong dialog antaragama**: Pemberian gelar ini juga berfungsi sebagai dorongan untuk terus melakukan dialog antaragama dan memperkuat ikatan antar umat beragama. Karaton Surakarta ingin mendorong tokoh-tokoh agama untuk terus berkolaborasi dan mencari solusi bersama dalam mengatasi tantangan-tantangan sosial.
4. **Meningkatkan citra karaton**: Dengan memberikan gelar kepada tokoh lintas agama, Karaton Surakarta juga ingin menunjukkan bahwa mereka mendukung pluralisme dan keberagaman. Ini bisa meningkatkan citra karaton sebagai institusi yang inklusif dan terbuka terhadap berbagai macam latar belakang dan keyakinan.
5. **Teladan bagi masyarakat**: Tokoh-tokoh yang menerima gelar ini diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat luas dalam hal toleransi, perdamaian, dan kerja sama antar agama. Karaton ingin menginspirasi masyarakat untuk mengikuti jejak para tokoh tersebut dalam mempromosikan nilai-nilai positif.
Dengan demikian, pemberian gelar budaya ini merupakan cara Karaton Surakarta untuk mendukung dan mempromosikan harmoni, toleransi, dan kerja sama antar umat beragama di Indonesia, termasuk apa yang bakal disemat dan digelar pada putra Kawanua ini.
Menurut catatan sejarah, gelar kebangsawanan Jawa adalah gelar di depan nama satu orang karena orang tersebut adalah keturunan raja atau panembahan atau pangeran atau bupati atau sunan atau wali di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Selain itu, gelar itu diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut dipandang berjasa kepada Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dalam perspektif umum, ada tiga jenis gelar kebangsawanan Jawa berdasarkan latar belakang diperolehnya; masing-masing diwariskan dengan sendirinya dari orangtua kepada anak karena hak kelahiran.
Selain itu, gelar ini diberikan oleh Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagara atau Adipati Pakualam atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jabatan yang dipangku dalam pemerintahan.
Gelar kehormatan, gelar ini diberikan oleh Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagara atau Adipati Pakualam atau pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada satu orang karena jasa kepada negara atau masyarakat.
Terkait hal ini, gelar kebangsawanan Jawa ini beririsan dengan gelar kebangsawanan Cirebon, gelar kebangsawanan Sunda, dan gelar kebangsawanan Madura, sehingga sepintas lalu terlihat sama walaupun terdapat perbedaan penerapan.
Persamaan di antara ketiganya adalah pemakaian gelar dasar Raden yang biasanya disingkat menjadi R. di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau disingkat menjadi Rd. di Jawa Barat yang terjadi akibat pengaruh budaya Mataram Islam selama masa pemerintahan Sultan Agung dan Sunan Amangkurat I.
Pewarisan gelar kebangsawanan di Kerajaan Mataram Islam umumnya bisa melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan atau disebut juga sistem bilateral, sedangkan pewarisan gelar kebangsawanan di Kerajaan Cirebon, Karesidenan Priangan, dan Pulau Madura umumnya hanya melalui garis keturunan laki-laki atau disebut juga sistem patrilineal.
Dalam kerangka gelar kebangsawanan Jawa maka yang dimaksud raja di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Raja Mataram Hindu, Raja Majapahit, Raja Demak, Raja Pajang, Raja Mataram Islam, Raja Surakarta, Raja Yogyakarta, Raja Bangkalan, dan Raja Sumenep.
Untuk gela pangeran di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Pangeran Adipati Mangkunagara, Pangeran Adipati Pakualam, Panembahan Madura Barat (Bangkalan, Sampang dan Pamekasan) dan Panembahan Sumenep.
Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Mataram Islam yang satu terpecah menjadi empat negara yaitu Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman. Surakarta dan Yogyakarta disebut kerajaan karena dipimpin oleh seorang raja.
Ditilik dari sejarah kerajaan (kingdom) dan raja (king), Mangkunagaran dan Pakualaman disebut kadipaten karena dipimpin oleh seorang adipati(duke) atau „duchy“ dan kadipaten(dukedom). Kelak dalam perkembangan di dunia moderen sejak abad-19-20, warisan kerajaan Inggris sampai hari masih dapat memberi gelar bangsawan pada nama depan tokoh-tokoh ilmuwan, filsuf maupun rohaniawan seperti Sir Isaac Newton, Sir Bertrund Russell bahkan Sir Muhammad Iqbal dari Pakistan.
Ada pula gelar lain seperti pangeran(prince) untuk Mangkunagaran dan Pakualaman. Kepangeranan(princedom) atau principality yang lebih familiar disebut prince. Karena Mangkunagara dan Pakualam adalah nama orang, bentukan kata sifatnya ditambahkan akhiran „an“ menjadi Mangkunagaran dan Pakualaman.
Wilayah empat negara pecahan Kerajaan Mataram Islam itu disebut vorstenlanden, dari Bahasa Belanda yang berarti tanah pangeran. Sedangkan wilayah Pulau Jawa di luar vorstenlanden disebut gouvernement(pangreh praja) dan kelak bertransformasi jadi pemerintahan. Pada dasarnya ada dua jenis bangsawan dalam tradisi Jawa, yaitu bangsawan keluarga raja dan bangsawan pejabat pemerintah. Secara umum dikenal sebagai elit priyayi atau elit agama disebut sebagai kiyai.
Konsep bangsawan dalam keluarga raja tercermin dari istilah Jawa sebagai priyayi yang berasal dari kata ‘para yayi’ yang berarti ‘para adik’ dan adik yang dimaksud adalah adik raja, sehingga kata priyayi berarti para adik raja.
Demikian pula kata Kyai yang berasal dari kata ‘ki yayi’ yang berarti ‘adik laki-laki’ yaitu adik laki-laki raja dan kata Nyai yang berasal dari kata ‘ni yayi’ yang berarti ‘adik perempuan’ yaitu adik perempuan.
Di kemudian hari ada juga orang yang bukan keluarga raja dan bukan pejabat pemerintah tetapi karena dianggap berjasa besar kepada raja atau negara atau masyarakat, maka diberi status bangsawan yang juga disamakan dengan keluarga raja.
Terkait dengan gelar bangsawan pada satu-satunya putra Minahasa dari marga Rarung(Tombulu) yang berarti “yang diteladani dan dihormati“ ini, menandai inkulturasi dan akulturasi dalam kebudayaan Minahasa dan Jawa masih terus tumbuh sejak 1830 ketika Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro Herucoroko Ngabulkhamid Penotogomo tiba di Tondano dan Manado.
Sebagai anugerah kebudayaan, gelar bangsawan untuk Priyayi Pdm. Victor Rarung, menurut info dari Pengageng Parentah Keraton, Drs.Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Adipati Dipokusumo, bahwa „persiapan untuk itu telah dilakukan dengan koordinasi yang matang untuk memastikan acara berjalan lancar.“.
Rerior. Sumerer cita waya esa pada Priyayi KRA Pdm Victor Rarung Hadiningrat SE.,MTh. atas gelar bangsawan. Sandiko Dawuh. (*/Mild)
Post A Comment:
0 comments: